Salju Abadi di Puncak Cartenz Pegunungan Jayawijaya Diprediksi Musnah Tahun 2026

Kehutanan 29 Agus 2025 240 kali dibaca
Gambar Artikel

LingkariNewsPuncak Carstensz di Pegunungan Jayawijaya, Papua, merupakan satu-satunya wilayah di Indonesia yang memiliki salju. Berada pada ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut, salju di kawasan ini dikenal sebagai salju abadi karena keberadaannya yang tetap menyelimuti puncak sepanjang tahun.

Namun, salju abadi di Puncak Carstensz kini terancam hilang. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengungkapkan bahwa salju abadi di Puncak Carstensz diprediksi akan musnah pada tahun 2026 mendatang. “Kita lihat bahwa hari ini es yang ada di Puncak Carstensz, salah satu puncak tertinggi di Indonesia telah mencair dan diproyeksikan oleh BMKG, maka es ini, tutupan es akan habis pada tahun 2026 nanti,” ujarnya.

Perubahan Iklim Global Jadi Penyebabnya

Gletser di Puncak Carstensz memang terus menipis dari tahun ke tahun. Hanif mengaku sempat berkunjung ke kawasan tersebut pada 2023 lalu, dan menyaksikan langsung tutupan es yang masih meliputi lebih dari sepertiga wilayah ini. Namun berdasarkan pemantauan beberapa waktu terakhir, es di Puncak Carstensz kini hanya tersisa di relung-relung bebatuan Pegunungan Jayawijaya. 

“Saya sempat berkunjung pada tahun 2023 di Puncak Carstensz, pada saat itu es masih meliputi lebih dari sepertiganya. Hari ini, kita lihat di banyak monitor, maka es di puncak Carstensz telah tinggal pada relung-relung dari gunung-gunung batunya,” cerita Hanif.

Melansir data dari BMKG, ketebalan es di Puncak Carstensz mengalami penyusutan ekstrim dalam satu dekade terakhir. Pada 2010, ketebalan es tercatat mencapai 32 meter. Namun, pengukuran lanjutan selama periode November 2015 hingga Mei 2016 mencatat ketebalan es menyusut drastis menjadi 5,6 meter. Kondisi semakin memburuk pada 2024, di mana es yang tersisa di Pegunungan Jayawijaya hanya setebal 4 meter. 

Tak hanya ketebalan, luasan es di Puncak Carstensz juga terus berkurang dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2022, area gletser di Puncak Sudirman tercatat masih meliputi sekitar 0,23 km². Dua tahun kemudian, survei mencatat luasnya tinggal 0,11–0,16 km². Angka tersebut memperlihatkan tren penurunan yang konsisten dan kian mengkhawatirkan.

“Penurunan ini sangat signifikan dan sulit dipertahankan. Kami mendokumentasikan kepunahan es di Papua karena kita sudah masuk tahap di mana mempertahankannya hampir mustahil,” jelas Koordinator Bidang Standardisasi Instrumen Klimatologi BMKG, Donaldi Sukma Permana, dikutip dari situs resmi BMKG.

BMKG menegaskan, penyebab utama mencairnya salju abadi di Pegunungan Jayawijaya adalah laju perubahan iklim global yang semakin tidak terkendali. Peningkatan suhu rata-rata bumi membuat gletser tropis semakin rapuh. Selain itu, fenomena El Nino turut memperburuk kondisi yang sudah kritis sehingga mempercepat proses mencairnya es. Jika tren ini berlanjut, maka lenyapnya salju abadi di Carstensz pada 2026 hanya soal waktu.

Upaya Penurunan Emisi Belum Berhasil

Mencairnya salju abadi di Puncak Carstensz, Pegunungan Jayawijaya, memicu keprihatinan mendalam akan isu perubahan iklim. Fenomena ini kembali menegaskan bahwa masalah pemanasan global tidak boleh dianggap remeh. 

Selama ini, berbagai upaya untuk menekan emisi karbon telah dilakukan. Mulai dari kebijakan pengurangan emisi, hingga transisi energi bersih. Berdasarkan publikasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pemerintah Indonesia menargetkan penurunan emisi karbon hingga 23 persen pada 2035. Target ambisius ini meliputi mencapai emisi bersih hutan dan lahan (FOLU Net Sink) sebesar 140 Mt CO2e pada 2030, dan 304 Mt CO2e pada 2050.

Indonesia juga telah mengembangkan perdagangan karbon. Upaya-upaya ini diharapkan mampu menanggulangi dampak nyata perubahan iklim seperti kekeringan, banjir, hingga kenaikan suhu ekstrem. Namun langkah-langkah tersebut belum membuahkan hasil nyata. “Alam tidak bisa dibohongi. Upaya kita menekan emisi masih jauh dari cukup. Hilangnya salju Cartenz menjadi simbol kegagalan kita menghadapi perubahan iklim,” tegas Hanif.

(KP/NY)