Eksplorasi Geothermal: Kemenhut Ajukan Batas Wilayah THRS

Kehutanan 29 Sep 2025 9 kali dibaca
Gambar Artikel Ilustrasi geotermal atau energi panas bumi | Sumber foto: Canva

LingkariNews—Kementerian Kehutanan tengah mengusulkan perubahan batas wilayah pada sebagian area hutan yang termasuk dalam situs Warisan Dunia Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (THRS) kepada UNESCO. Perubahan ini diklaim sebagai upaya untuk memungkinkan pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) atau geothermal di kawasan tersebut.

Menurut Satyawan Pudyatmoko, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kemenhut, wilayah THRS menyimpan potensi panas bumi hingga 5 gigawatt (GW). Namun, sejauh ini potensi tersebut belum dimanfaatkan karena berada di dalam zona yang dilindungi.

Pengembangan energi panas bumi di kawasan THRS, hingga kini belum dapat direalisasikan karena adanya perbedaan regulasi antara Indonesia dan UNESCO. Dalam keterangannya, usai acara The 11th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition pada Rabu (17/9/2025), Satyawan menjelaskan bahwa UNESCO mengklarifikasikan geothermal sebagai kegiatan pertambangan, yang dilarang dilakukan di kawasan warisan dunia.

Sementara itu, di Indonesia, panas bumi dipandang sebagai bentuk pemanfaatan jasa lingkungan, bukan pertambangan. Perbedaan interpretasi inilah yang menjadi kendala utama dalam implementasi pengembangan geothermal di wilayah tersebut.

Fakta Kawasan Lindung THRS

Mengutip UNESCO melalui Bisnis Indonesia, THRS memiliki wilayah seluas 2,5 juta hektare yang terdiri dari tiga taman nasional: Gunung Leuser (862.975 hektare), Kerinci Seblat (1,37 hektare), dan Bukit Barisan Selatan (356.800 hektare). Menurut UNESCO, kawasan ini memiliki peran penting sebagai pusar konservasi jangka panjang dan menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati khas Sumatra, termasuk berbagai spesies langka dan terancam punah.

Kawasan lindung THRS merupakan habitat bagi sekitar 10.000 jenis tumbuhan, termasuk 17 genus yang hanya ditemukan di kawasan tersebut. Kawasan ini juga menjadi tempat hidup bagi sekitar 200 spesies mamalia–dengan 22 spesies yang tidak ditemukan di wilayah lain di Indonesia dan 15 spesies hanya ditemukan di Indonesia, termasuk orangutan Sumatra. Selain itu, terdapat sekitar 580 spesies burung, 465 di antaranya merupakan penghuni tetap dan 21 merupakan spesies endemik.

Suoh Sekincau Jadi Wilayah Eksplorasi Geothermal

Satyawan menyatakan bahwa usulan perubahan batas kawasan THRS akan difokuskan pada wilayah Suoh Sekincau di Provinsi Lampung, yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Ia berpendapat bahwa area tersebut saat ini sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai bagian dari hutan warisan dunia.

Satyawan pun menyampaikan pengembangan eksplorasi panas bumi di kawasan THRS direncanakan dapat berjalan pada tahun 2027, apabila pengajuan modifikasi telah memperoleh izin dari UNESCO.

Kegiatan Eksplorasi Panas Bumi di Wilayah Suoh Sekincau

Wilayah Suoh Sekincau, saat ini menjadi lokasi kegiatan ekpslorasi panas bumi oleh PT Star Energy Geothermal Suoh Sekincau (SEGSS), anak perusahaan dari PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN). Aset ini sebelumnya dimiliki oleh Pt Austindo Nusantara Jaya dan diakuisisi oleh BREN pada tahun 2017. 

Berdasarkan laporan perusahaan, SEGSS menjalankan kegiatan survei dan eksplorasi awal (PSPE) di wilayah Sekincau Selatan, Lampung, sesuai dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 1870 K/30/MEM/2018. Kementerian ESDM telah memberikan tiga kali perpanjangan izin PSPE, dengan perpanjangan terakhir berlaku hingga 20 Juni 2026.

Perpanjangan izin tersebut diberikan karena proses perubahan batas kawasan hutan masih menunggu persetujuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hingga akhir Juni 2025, proses perolehan dokumen lingkungan seperti Amdal masih berlangsung.

Selain Potensi Adakah Dampak yang Tersembunyi?

Energi panas bumi kerap disebut sebagai salah satu sumber energi terbarukan yang dianggap rendah emisi dan berkelanjutan. Indonesia bahkan memiliki potensi besar dengan cadangan mencapai ribuan megawatt listrik. Namun, di antara potensi besar, adakah dampak negatif yang mengikutinya? Apakah pengembangan geothermal benar-benar ramah lingkungan?

Dalam catatan Walhi menunjukkan bahwa proses ekstrasi geothermal membutuhkan sumber daya besar dan tidak lepas dari risiko merugikan. Beberapa dampak yang pernah terjadi pada eksplorasi di wilayah Indonesia lainnya antara lain gempa bumi, pencemaran air tanah, kegagalan panen, hilangnya keanekaragaman hayati endemik, hingga risiko kebocoran gas beracun. Selain itu, perubahan pada ekosistem dapat berpengaruh pada keberlangsungan sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan yang selama ini menjadi penopang ekonomi lokal.

Dari sisi ekonomi, penelitian memperkirakan bahwa proyek PLTP berpotensi menimbulkan kerugian cukup signifikan. Risiko hilangnya pendapatan daerah yang bisa mencapai ratusan miliar rupiah, sementara kerugian output ekonomi diperkirakan menembus lebih dari satu triliun rupiah. Hal ini, menunjukkan bahwa meskipun ada peluang energi, tantangan ekonomi lokal pun perlu menjadi perhatian.

Selain itu, klaim bahwa PLTP bebas emisi tidak sepenuhnya terbukti. Proses pembangunan hingga operasional tetap menghasilkan gas rumah kaca dalam jumlah signifikan, bahkan disebut bisa setara dengan PLTU batubara. Dengan kondisi tersebut, evaluasi menyeluruh terhadap proyek geothermal menjadi penting. Sebab, transisi menuju energi terbarukan tetap perlu mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan keadilan bagi masyarakat yang terdampak langsung.

(NY)

Sumber:

https://hijau.bisnis.com/read/20250918/652/1912642/demi-geothermal-kemenhut-ajukan-modifikasi-batas-hutan-warisan-dunia-sumatra-ke-unesco#goog_rewarded

https://www.walhi.or.id/uploads/buku/ID%20CELIOS%20x%20WALHI%20Geothermal%202024.pdf