PBB: Intensitas Kebakaran Hutan Meningkat Akibat Perubahan Iklim, Ancaman Polusi Udara Kian Nyata

Kehutanan 10 Sep 2025 9 kali dibaca
Gambar Artikel Kebakaran hutan

LingkariNews—Perubahan iklim telah menjadi salah satu ancaman serius bagi kehidupan manusia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, sekitar 3,6 miliar orang tinggal di kawasan yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. WHO bahkan memperkirakan, fenomena ini dapat menyebabkan 250.000 kematian tambahan setiap tahun selama periode 2030 hingga 2050.

Salah satu dampak nyata dari krisis iklim adalah meningkatnya kebakaran hutan. Data satelit Terra dan Aqua milik NASA menunjukkan bahwa kebakaran hutan ekstrem kini menjadi lebih sering terjadi, dengan intensitas dan luasan yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Setidaknya, frekuensi kebakaran hutan ekstrem telah meningkat lebih dari dua kali lipat di seluruh dunia. 

Lebih lanjut, catatan World Resources Institute menunjukan bahwa tahun 2024 menjadi periode paling ekstrem dalam sejarah kebakaran hutan, dengan sekitar 13,5 juta hektar hutan terbakar. Itu artinya, tingkat kebakaran hutan di tahun 2014 sudah 13 persen lebih tinggi dari rekor sebelumnya, yaitu 11,9 juta hektar pada 2023.

Kebakaran Hutan Perburuk Kualitas Udara Global

Salah satu dampak paling nyata dari kebakaran hutan adalah meningkatnya polusi udara di berbagai belahan dunia. Badan cuaca dan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa menegaskan, kebakaran hutan memperburuk kualitas udara global secara signifikan selama tahun 2024.

Dalam sebuah laporan yang diterbitkan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) baru-baru ini, dijelaskan bahwa kebakaran hutan mampu melepaskan ‘ramuan ajaib’ polutan partikel halus yang disebut aerosol. Catatan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menunjukan bahwa kebakaran hutan yang terjadi sepanjang 2024 mendorong kadar PM2.5 di Amazon, Kanada, Siberia, dan Afrika Tengah berada di atas rata-rata. Ini merupakan ancaman nyata dari perubahan iklim.

PM2.5 merupakan partikel dengan diameter kurang dari 2,5 mikrometer. Ukuran partikel PM2.5 yang sangat kecil membuat partikel ini bisa menembus paru-paru hingga masuk ke sistem kardiovaskular. Dalam jangka panjang, paparan PM2.5 bisa meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, dan kanker paru-paru. Selain masalah kesehatan, PM2.5 juga bisa merusak infrastruktur serta ekosistem. 

“Kebakaran hutan merupakan penyumbang besar polusi partikel dan masalah ini diperkirakan akan meningkat seiring dengan perubahan iklim, menimbulkan risiko yang semakin besar bagi infrastruktur, ekosistem, dan kesehatan manusia,” tulis WMO.

Yang lebih mengkhawatirkan, kebakaran hutan dapat mempengaruhi kualitas udara hingga ke benua lain. Menurut Petugas Ilmiah WMO, Lorenzo Labrador, kebakaran hutan besar yang terjadi di Kanada menyebabkan penurunan kualitas udara di Eropa. “Kita mengalaminya tahun lalu dan tahun ini juga. Jadi, terjadi penurunan kualitas udara di seluruh benua ketika kondisi meteorologi tepat,” ujarnya.

Masalah Kahutla di Indonesia

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan masalah tahunan di Indonesia, terutama ketika memasuki musim kemarau. Berdasarkan siaran pers Kementerian Kehutanan, sepanjang Januari–Agustus 2025 saja luas karhutla di Indonesia sudah mencapai 213.984,51 hektare, atau sekitar 56,8 persen dari total karhutla selama tahun 2024 yaitu 376.805,05 hektare. Situasi ini menegaskan bahwa ancaman kebakaran hutan masih jauh dari kata usai di tengah tekanan perubahan iklim.

Tingginya kasus karhutla di Indonesia berdampak langsung pada kualitas udara yang semakin memburuk. Data IQAir mencatat rata-rata konsentrasi PM2.5 di Indonesia selama 2024 berada di angka 35,54 µg/m³. Padahal, ambang batas aman  rata-rata PM2.5 tahunan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 5 µg/m³. Artinya, konsentrasi PM2.5 Indonesia mencapai 7,1 kali lipat dari ambang aman.

Kondisi tersebut menempatkan Indonesia di peringkat 15 negara dengan kualitas udara terburuk pada 2024. Lebih mengkhawatirkan lagi, asap karhutla Indonesia tidak hanya mencemari udara lokal, tetapi juga memicu gangguan lintas batas ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Masih tingginya angka karhutla diIndonesia menunjukkan bahwa penanganan masalah ini belum optimal. Indonesia membutuhkan upaya yang lebih kuat, mulai dari pencegahan berbasis komunitas, pengawasan konsisten di lahan gambut, hingga penegakan hukum bagi pelaku pembakaran. Hal ini harus jadi perhatian bersama mengingat kahutla di Indonesia juga turun mempengaruhi kualitas udara regional dan global.

“Perubahan iklim dan kualitas udara tidak dapat ditangani secara terpisah. Keduanya harus ditangani bersama untuk melindungi planet kita, komunitas kita, dan perekonomian kita,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal WMO, Ko Barrett.

(KP/NY)

Sumber: 

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/climate-change-and-health

https://science.nasa.gov/earth/explore/wildfires-and-climate-change/

https://kehutanan.go.id/pers/menhut-manggala-agni-jadi-ujung-tombak-penjaga-hutan-indonesia

https://www.iqair.com/id/indonesia