Dampak Tambang Nikel di Raja Ampat Rusak Terumbu Karang

Kelautan 07 Okt 2025 97 kali dibaca
Gambar Artikel Ilustrasi kerusakan terumbu karang | Sumber foto: Canva

LingkariNews–Raja Ampat dikenal sebagai surga bawah laut dunia dengan kekayaan biotanya. Namun, ancaman besar datang dari aktivitas tambang nikel yang beroperasi di beberapa pulau kecil, salah satunya Pulau Manuran.

Dalam laporan berbagai lembaga menunjukkan, kegiatan pertambangan di wilayah ini menimbulkan kerusakan ekosistem laut yang serius, juga dampak langsung yang dirasakan masyarakat setempat.

Terumbu Karang Terkubur Lumpur, Biota Laut Menghilang

Sejak tambang nikel beroperasi di Pulau Manuran sekitar tahun 2014, kualitas terumbu karang di sekitarnya menurun drastis. Lumpur dan material sisa tambang terbawa air hujan menuju pantai, lalu mengendap di perairan. Hal ini mengakibatkan, terumbu karang yang menjadi rumah bagi ratusan jenis biota laut tertimbun sedimen dan perlahan kehilangan fungsi alaminya.

Warga lokal pun mengeluhkan hasil tangkapan ikan yang terus berkurang. Ikan kakap, kerapu, hingga lobster yang sebelumnya mudah didapatkan, kini semakin sulit. Menurut salah satu nelayan, butuh waktu berjam-jam hanya untuk memperoleh satu atau dua ekor ikan. Kondisi seperti ini sangatlah memengaruhi stabilitas mata pencaharian dan sumber pangan masyarakat pesisir yang sejak lama menggantungkan hidup pada ekosistem laut di Raja Ampat.

Ancaman terhadap Geopark UNESCO dan Kehidupan Masyarakat

Raja Ampat bukan sekedar kawasan wisata, melainkan pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Wilayah ini merupakan bagian dari Segitiga Karang Dunia atau Coral Triangle dengan 75 persen spesies karang global, 1.600 lebih spesies ikan, serta populasi pari manta terbesar di dunia. Maka dari itu, UNESCO menetapkannya sebagai Global Geopark sekaligus kawasan konservasi laut penting.

Namun, laporan Auriga Nusantara dan Earth Insight mengungkapkan bahwa aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat berpotensi merusak 2.470 hektare terumbu karang dan 7.200 hektare hutan. Selain itu, keberlangsungan hidup 64.141 masyarakat adat yang tinggal di 3,66 juta hektare kawasan Raja Ampat juga terancam.

Apabila kerusakan ini terus berlanjut, bukan hanya masyarakat lokal yang kehilangan sumber penghidupan, tetapi juga status Raja Ampat sebagai destinasi wisata kelas dunia bisa bergeser. Faktanya, sektor pariwisata bahari di wilayah ini mampu menarik lebih dari 19 ribu wisatawan pada tahun 2023, yang berarti ada potensi ekonomi besar dari ekosistem yang lestari.

Perlindungan dan Pemulihan Lingkungan Perlu Diutamakan

Meski pemerintah telah mengumumkan pencabutan beberapa izin usaha pertambangan (IUP) di Raja Ampat, hasil di lapangan menunjukkan belum ada upaya reklamasi yang signifikan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kerusakan lingkungan yang berlanjut, bila tambang dibiarkan beroperasi kembali.

Auriga Nusantara dan Earth Insight meminta pemerintah untuk menetapkan Raja Ampat sebagai no-go zones–wilayah yang sepenuhnya bebas dari aktivitas pertambangan. Selain itu, prinsip polutter pays harus ditegakkan agar perusahaan tambang bertanggung jawab memulihkan ekosistem yang rusak.

Di sisi lain, solusi berkelanjutan perlu diprioritaskan, seperti pengembangan ekowisata, konservasi, dan restorasi berbasis masyarakat. Dengan cara ini, manfaat jangka panjang dari kelestarian ekosistem laut bisa lebih besar daripada keuntungan sesaat dari eksploitasi mineral.

Apa yang terjadi di Pulau Manuran, Raja Ampat, memperlihatkan bagaimana aktivitas tambang nikel membawa dampak berantai: dari rusaknya terumbu karang, hilangnya biota laut, hingga terancamnya kehidupan masyarakat adat. Melindungi Raja Ampat bukan hanya soal menjaga ekosistem, tetapi juga melestarikan sumber kehidupan, identitas budaya, dan masa depan ekonomi masyarakat lokal.

(NY)

Sumber:

https://betahita.id/news/detail/11445/investigasi-jejak-neraka-nikel-di-surga-raja-ampat.html?v=